Senin, 26 Agustus 2013

Kapasitas CSR, kemandirian lokalitas

kapasitas CSR kemandirian lokalitas
Upaya membangun serta mengembangkan kemapuan merencanakan dan pengelolaan CSR menjadi sesuatu yang wajib bagi perusahaan sa'at ini. Terutama jika dilihat dari situasi sosial dan politik yang dilekatkan kepada CSR sebagai sebuah mandat atau sebagai bentuk kewajiban dari perusahaan. Kesadaran akan mandat ini "dari pengalaman penulis" baru menyentuh level pengambil kebijakan atau manajemen terkait direksi dan atau sekretarisnya. Sehingga beberapa perusahaan menginginkan pengelolaan CSR cukup dijalankan dengan metode atau cara-cara lama dengan basis philantrophy. Tidak ada yang salah dengan keputusan ini, tapi yang menjadi persoalan terbesar adalah, kefatalan memilih strategi philatrophy pada komunitas yang belum siap menerima manfa'at philatrophy akan membentuk mentalitas korban, dan menggerus semangat kemandirian Individu dan komunal yang telah tumbuh bertahun-tahun di komunitas. Pada sisi lain, mungkin pada satu sampai tiga tahun pertama hal ini tidak menjadi kendala bagi perusahaan, karena masih ada segan-menyegani antara perwakilan perusahaan dan komunitas, yang disebabkan oleh tatanan nilai normatif yang mengatur masyarakat timur secara umum, yaitu menghindari kesan mengemis. Tapi setelah itu, dapat dipastikan hubungan baik yang diharapkan dari berbagi sumberdaya, sebaliknya akan menjadi bencana sosial yang memberikan dampak lebih panjang dari usaha eksplorasi terhadap sumberdaya alam, dan sangat mungkin menembus tiga generasi dibelakangnya. Ini bukanlah sebuah dramatisasi yang ditujukan untuk menakuti kita sebagai generasi yang menentukan sejarah dimasa datang, tapi hanya melakukan refleksi untuk mengukur, apakiranya yang akan terjadi jika kapasitas kita memahami CSR dibatasi oleh kepentingan keuntungan perusahaan yang lebih memprioritaskan bagaimana profit dihasilkan dibandingkan memikirikan untuk membangun laba sosial dan planet bumi. begitu besarnya konsep tanggungjawab sosial yang mengusung semangat profit, people and planet menjadikan beban dan tanggungjawab perusahaan bukan lagi pada alur proyek yang hanya terbatas pada operasi internal dan pemenuhan kebutuhan keberlanjutan dan eksistensi usahannya, akan tetapi dampak jangka panjang yang mempertimbangkan keberadaan generasi sebagai penerima manfa'at. Secara prinsip, pekerjaan yang menuntut dukungan khalayak luas ini, membutuhkan strategi, serta pemahaman akan kerjasama lokal dengan memaksimalkan potensi-potensi lokal yang akan berkontribusi pada kemandirian lokal dan motivasi untuk berinovasi serta terus belajar memperbaiki diri. Akhirnya kapasitas CSR  sesuatu yang menjadi wajib bagi penerima manfa'at dan kemandirian lokal adalah tujuan dari peningkatan kapasitas ini. (Google+)
Baca Juga: Pemberdayaan Petani
Sumber foto: http://www.skyscrapercity.com
Posted by: Konsultan Pemberdayaan Konsultan Manajemen Updated at : 09.11

Sabtu, 17 Agustus 2013

Peningkatan Kualitas CSR, Fenomena Kekinian

peningkatan kualitas CSR, fenomena kekinian
Sebagai sebuah negara yang makin berkembang, Indonesia secara ekonomi telah mendorong partisipasi pihak swasta dalam upaya pemerataan ekonomi melalui berbagai strategi pembangunan dalam skala kepentingan global atau kepentingan nasional. Salah satu platform atau tujuan besar dan sering berkumandang adalah konsepsi millenium development goals atau MDGS. Seiring sejalan dengan upaya mencapai tujuan pembangunan millenium ini, peran pemerintah tidak terbatas hanya pada sektor ekonomi yang berdampak langsung pada kwalitas hidup masyarakat secara umum. Sehingga pemerintah mengajak swasta untuk menggerakkan peran mereka bukan hanya sebagai penonton, tapi juga sebagai aktor yang memiliki peran penting. Sering juga swasta dibilang memiliki sumberdaya dan akses yang terbatas untuk membuat perubahan, tapi sebaliknya, keterbatasan swasta sesungguhnya lebih dalam membuat keputusan yang memberikan dampak pada masyarakat banyak dan kebijakan publik. Pada sisi lain, sebagai mitra strategis yang membantu terwujudnya kesejahteraan rakyat dan dianggap bukan sebagai pelaku utama. Menurut penulis, hal ini sering terlupakan dan terabaikan, dimana memberikan stigma bukan pemeran utama tapi peran pembantu justru akan mengecilkan kontribusi yang diberikan oleh swasta unutk pembangunan negeri ini. Sebalikanya, intervensi berlebihan dan ketidakmampuan pemerintah membangun regulasi serta meningkatkan sumberdaya yang mendukung sistem tata negara menjadi lebih efisien dan efektif, telah membuat publik kehabisan harapan melihat masa depan dan membayangkan redistribusi kekayaan. Oleh karena tidak jelasnya prioritas pembangunan yang ditetapkan serta tidak terukurnya capaian-capaian yang dibuat. Upaya pemerintah memetakan mitra-mitra strategis diluar kelompok masyarakat sipil yang memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan memang layak diapresiasi. Dari hal ini, pemerintah melihat potensi besar pada swasta melalui organisasi perusahaan dalam semua skala ekonomi untuk dapat mengambil peran lebih dalam melakukan fungsi-fungsi yang tidak bisa dijalankan oleh pemerintah. Dengan demikian, intstrument yang sering kali disinggung dalam warta pemerintah terkait swasta adalah Corporate Social Responsibility atau kita kenal dengan CSR. Disinilah pemerintah dan swasta melakukan sinergistas peran untuk pembangunan serta redistribusi kekayaan melalui kerjasama dua model organisasi yang kadang memiliki keberpihakan tujuan yang ekstrem melalui perencanaan pembangunan berbasis multipihak dan menetapkan konsep dan strategi pembangunan bukan hanya dari kacamata politik akan tetapi juga sosial, ekonomi dan budaya. Dari fakta dan fenomena yang ada formulasi CSR kadang tidak lepas dari kepentingan, sehingga kualitas CSR sangat ditentukan oleh bentuk pembagian peran, kesamaan visi, misi serta tujuan, selain, pemahaman yang sama tentang strategi yang digunakan. (Google+)
Baca Juga: Jasa CSR untuk Generasi Kita
Sumber foto: http://www.merdeka.com 
Posted by: Konsultan Pemberdayaan Konsultan Manajemen Updated at : 07.59

Rabu, 07 Agustus 2013

Manajemen Konflik CSR Perusahaan

manajemen konflik CSR perusahaan
Ketergantungan yang diakibatkan oleh program yang meyakini pendekatan philantrophy untuk CSR kadang menjadi menakutkan bagi para pekerja pemberdayaan atau pembangunan, kenapa, karena apa yang menjadi semangat yang selama ini dikumandangkan dalam menciptkan masyarakat yang memiliki kekuatan dalam menghadapi perubahan bisa jadi yang terjadi sebaliknya. Yaitu terciptanya masyarakat yang gemar menengadahkan tangan, tidak transparan, dan manipulatif. Lalu, pertanyaanya bagaimana merubah kondisi ini, sejatinya tidak bisa dirubah hanya dengan menghitung hari, Penulis mengamati mentalitas korban acap sekali digunakan oleh para peminta untuk menyentuh para donatur atau sponsor, dimana kebetulan dalam pribadi donatur atau sponsor tersebut hidup rasa superioritas. Nah, gayung bersambut, ada pemintaan dan ada pemberi yang keduanya terlibat dalam skema pemintaan dan ketersediaan pasar. Situasi ini semakin sempurna, jika tekanan sosial pada waktu itu berpihak pada peminta dengan tujuan memuaskan keadilan sosial masyarakat, karena adanya persepsi yang tidak benar terhadap perusahaan. Pada tulisan hari ini, penulis ingin memberikan gambaran bagaimana manajemen CSR untuk perusahaan terutama dalam mengelola kepentingan dan tekanan-tekanan sosial yang mengarah pada eksploitasi perusahaan atau mengarah pada memposisikan perusahaan sebagai sapi perah atau mensin ATM. Secara konsep, pengelolaan CSR se-ideal mungkin menjadi mandat dari nilai preposisi perusahaan yang tertulis menjadi penugasan dari setiap posisi struktural perusahaan. Dengan tujuan, memberikan tanggungjawab nilai pada setiap unsur individu dalam perusahaan. Sehingga CSR akan menjadi program yang bergerak maju membentuk karakter perusahaan muncul keluar maupun kedalam perusahaan. Sebagai sebuah catatan adalah sebuah kesalahan jika perusahaan mengandalkan pemberian kepada penerima manfa'at CSR dengan tujuan meredam kepentingan, dan perlakuan ini sudah bisa dipastikan akan memberikan dampak buruk pada pola serta mental model penerima manfa'at. Dimana kontrol serta pengawasan terhadap penggunaan dana tersebut tidak berjalan secara efektif dan efisien. Selanjutnya, ketika proses penurunan mandat serta penugasan tinggal dikelolakan dalam sebuah kerangka pengorganisasian CSR akan menjadi bagian dari manajemen CSR dan Perusahaan. (Google+)  
Posted by: Konsultan Pemberdayaan Konsultan Manajemen Updated at : 10.08

Selasa, 06 Agustus 2013

CSR untuk Pemberdayaan Perempuan

CSR untuk pemberdayaan perempuan
Pemberdayaan perempuan secara sederhana diartikan sebagai upaya-upaya menguatkan kapasitas perempuan untuk kemandirian dan peningkatan kualitas hidup perempuan. Tulisan kali ini ingin difokuskan pada gagasan menggunakan program CSR untuk penguatan program pemberdayaan perempuan di masyarakat. Saya menggunakan kerangka Soetomo dalam bukunya “Pembangunan Masyarakat: Merangkai Sebuah Kerangka” untuk menjelaskan bagaimana pemberdayaan perempuan dengan menggunakan CSR sangat mungkin dilakukan. Pertama, Pemberdayaan perempuan sebagai proses perubahan; artinya pemberdayaan harusnya bisa menjadi bagian dari proses transformasi sosial. Perubahan yang dimaksudkan tentu saja menuju kondisi yang dianggap ideal dimana dalam perjalanannya menemukan faktor-faktor yang mempercepat dan memperlambat proses. Faktor-faktor ini akan menciptakan dinamika yang kompleks di dalam masyarakat, dimana perempuan harus menjadi bagian dari proses. Jika kita sering melihat di banyak kesempatan perempuan tidak terlalu terlibat dalam aktifitas public,maka pemberdayaan perempuan harus mendorong pada upaya agar perempuan menjadi actor yang aktif di masyaraakt, sehingga di setiap proses pengambilan keputusan, perempuan menjadi bagian penting. Untuk itu, ini tidak bisa dilakukan dengan cara yang natural. Harus ada desain khusus dimana perempuan disituasikan untuk dapat melalui proses peningkatan kapasitas, pengelolaan ketrampilan, dan penempaan kualitas kepemimpinan perempuannya. Kedua, Pemberdayaan perempuan sebagai proses pemanfaatan sumber daya; untuk mencapai kondisi yang diidealkan, diperlukan sumber daya yang cukup. Di setiap masyarakat tersimpan potensi sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Sumber daya ini baru bisa dimanfaatkan keberadaanya setelah dilakukan upaya untuk mengubahnya menjadi sumber daya aktual untuk digunakan sebaik-baiknya kesejahteraan masyarakat baik secara material maupun immaterial. Perempuan, merupakan sumber daya yang sangat penting dalam masyarakat, yang sering terpendam bahkan terabaikan potensinya. Menjadikan perempuan sebagai sumber daya alternatif di komunitas, akan membuka peluang besar akan perubahan. Ini akan memancing untuk mengekspose sumber daya-sumber daya lain yang terpendam. Ketiga, pemberdayaan perempuan sebagai pengembangan kapasitas; Kesejahteraan masyarakat merupakan hasil dari pemanfaatan kapasitas di masyarakat baik itu berupa sumber daya manusia maupun potensi lainnya, termasuk memanfaatkan kapasitas perempuan dalam menunjang proses keberdayaan di masyarakat. Sebuah proses pemberdayaan haruslah mengarah pada peningkatan kapasitas di perempuan dan masyarakat secara alamiah maupun by design. Semakin meningkat kapasitas perempuan dan laki-laki  semakin tinggi tantangan yang dihadapi. Adanya kapasitas masyarakat yang telah terkonsolidasi, akan membantu masyarakat untuk bisa menghadapi tantangan yang kompleks dengan lebih baik dari sebelumnya. Satu contoh sederhana, di komunitas Pondok Bambu, komunitas dampingan AMAN Indonesia, para ibu terorganisir dalam sebuah media yang bernama Sekolah Perempuan. Mereka aktif menjawab persoalan di masyarakat, salah satunya adalah masalah sampah yang tidak terkelolah. Begitu mereka punya rencana, maka kebutuhan pengembangan ketrampilan mengelolah sampah dibutuhkan. Lalu berkembang belajar tentang bagaimana mengkapitalisasi sampah menjadi uang dengan belajar bank sampah ke Kelurahan Mekarsari. Karena persoalan pengelolaan sampah bukanlah bisnis para ibu, maka program dikembangkan agar multi stakeholder terlibat didalamnya. Dalam perjalanan proses ini, keterlibatan pihak kelurahan membuat proses menjadi lebih mudah. Keempat, pemberdayaan perempuan sebagai proses yang melibatkan multi pihak; masyarakat mengandung berbagai dimensi, dimana setiap dimensi memiliki interaksi, interrelasi dan bahkan interdependensi antara satu dimensi dengan yang lain. Pemberdayaan perempuan akan mengarahkan pada hubungan yang sinergis antara satu dimensi dengan yang lainnya, sehingga kapasitas bisa dimaksimalkan untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian. Persoalan yang melingkupi perempuan memang tidak bisa dikotak-kotakkan. Seluruh aspek kehidupan perempuan saling beririsan dan dinamis. Olehkarenanya pemberdayaan perempuan, tentu saja sebuah proses menjawab semua kebutuhan dan kepentingan perempuan dari persoalan ketubuhan perempuan, kesehatan reproduksi dan seksual, pendidikan, kesehatan, keterlibatan politik, ekonomi dan semuanya. Dalam menyelesaikan masalah ini, tentu saja harus melibatkan semua pihak, karena perempuan adalah bagian dari masyarakat secara utuh. CSR secara ideal haruslah bisa menjawab ke empat model pemberdayaan perempuan di atas dengan mendorong aktifitas yang didukung oleh CSR lebih menyentuh pada perubahan jangka panjang yaitu penguatan kapasitas perempuan dan peningkatan perempuan dalam pengambilan keputusan. Perempuan terlibat dalam semua proses pembangunan tidak bisa ditawar lagi. Kebijakan CSR harus mendukung ke arah pemenuhan minimal 30% quota perempuan dalam setiap fase kegiatan pemberdayaan. Tentu saja Ini bukan saja mengacu pada keterwakilan fisik perempuan, tetapi juga kualitas berpikir perempuan yang bisa menyuguhkan analisis sosial yang komprehensif. Sudah saatnya CSR mengadopsi kebijakan mainstreaming gender di dalam perumusan program dan mengarah pada transformasi sosial. Bukan hanya itu, secara serius pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi CSR haruslah memperhatikan indikator gender mainstreaming, sehingga agenda pemberdayaan perempuan bisa dilakukan secara khusus atau secara integrative menjadi bagian program secara umum. Rb (Google+). ***
Posted by: Konsultan Pemberdayaan Konsultan Manajemen Updated at : 10.45

Sabtu, 03 Agustus 2013

Jasa CSR, untuk generasi Kita

jasa CSR untuk generasi kita
Belajar dari sebuah pengalaman dengan para pekerja yang menjual jasa mereka untuk CSR, Penulis menangkap sebuah harapan akan masa depan. Sebutlah Tono bukan nama sebenarnya, sejak 3 tahun terakhir telah menjual keahlian perencanaannya sebagai konsultan lepas yang membantu sebuah perusahaan perkebunan merencanakan serta mewujudkan visi Corporate Social Responsibility mereka. Penulis melihat bahwa apa yang Tono lakukan adalah suatu bentuk lain dari pengabdian yang tidak akan putus hanya sampai kontraknya habis atau pekerjaan perencaaannya selesai, tapi lebih dari itu apa yang Tono lakukan akan berdampak pada masa depan perusahaan serta masa depan masyarakat sekitar. Selanjutnya, Penulis ingin mengatakan bahwa apa yang terjadi sa'at ini, Jasa perencana program CSR atau rangkaian kelompok program ikutan yang ada, baik dilakukan secara mandiri atau secara paket sepatutnya diapresiasi, dan sepatutnya mendapat tempat dalam sebuah area profesional yang disebut jasa lepas perencanaan CSR. Dan ini merupakan bagian dari strategi memberikan layanan dan menggapai konsumen melalui media retail. Selama kriteria dan Indikator si Perencana masuk dalam standar yang diinginkan dan memenuhi prasyaratan tidak akan menjadi masalah bagi perusahaan untuk mempekerjakan konsultan jasa CSR tersebut. Penulis menyadari, mungkin kredebilitas perencana sedikit banyak akan dipertanyakan oleh pihak-pihak terkait, akan tetapi persoalan kredibilitas ini bisa diatasi dengan membangun jaringan konsultan lepas yang bekerja untuk memaksimalkan Jasa CSR. Dengan banyak pertimbangan seperti, pada konsumen dan watak konsumen, atau dengan pertimbangan tumbuh dan berkembangnya pasar konsultan CSR maka ini akan menjadi landasan pacu bagi para ahli yang sedang membangun dedikasi serta keseriusan mereka mengembangkan konsep Jasa Konsultan CSR retail menjadi lebih diterima oleh masyarakat. Dari fakta serta wacana ini pula, Penulis ingin menyampaikan dampak lanjutan dari terbuka luasnya potensi konsultansi jasa CSR berbasis konsultan lepas akan memberikan kesempatan bagi generasi kita untuk mewujudkan perkembangan sosiologis masyarakat dalam konsep pemberdayaan serta kerangka balas budi perusahaan baik pada masyarakat, konsumen ataupun pekerja.(Google+)
Posted by: Konsultan Pemberdayaan Konsultan Manajemen Updated at : 09.07

Kamis, 01 Agustus 2013

Strategi CSR untuk Perusahaan Tambang

strategi CSR untuk perusahaan tambang
Dari pengamatan Penulis beberapa tahun terakhir, sulit ternyata mendapatkan dukungan masyarakat bagi perusahaan tambang, sehigga sering kita mendengar konflik kepentingan antar pihak, demonstrasi sampai dengan tindakkan anarkis. Aksi-aksi yang sejatinya tidak saja merugikan pihak perusahaan akan tetapi juga pihak masyarakat, dimana keresahan serta ketidaknyamanan terus berlanjut sehingga menciderai semua lini kehidupan. Jikalau, salah satu pihak akhirnya sulit menahan diri, bukan hanya korban material yang terjadi, akan tetapi juga korban jiwa juga bisa berjatuhan. Nah, memahami tarik-ulur kepentingan ini, CSR sesungguhnya dapat menjadi jembatan merajut kepentingan perusahaan dengan masyarakat. Tapi kadang momentum waktunya justru tidak diperhitungkan dalam alur sampai kerangka kepentingan tambang. Secara teori, melaksanakan CSR sebelum melakukan eksplorasi menjadi alternatif mencari dukungan sosial-budaya, dengan berbagi visi dan misi kepada lingkungan sekitar. Kenapa ini menjadi tawaran menjembatani kepentingan, kalau kita pernah mengenal istilah trainee untuk pegawai baru di perusahaan, Penulis mencoba melihat ruang dan kesempatan ini dilakukan sebagai bentuk berbagi visi, dimana cara pandang atau kepentingan perusahaan bisa lebih awal diperkenalkan dan dibicarakan, juga ditempatkan dalam tatanan sosial kemasyarakatan sebagai rangkaian yang mesti dijalankan serta bentuk pengkondisian perusahaan. Lalu pertanyaannya adalah, apakah strategi mengawali start ini akan berhasil? tidak ada jawaban final dari ini semua, yang ada adalah, upaya mencoba serta terus mencoba, akan tetapi mendapat kesempatan lebih awal akan menjadi daya dorong untuk terciptanya ruang berbagi informasi-komunikasi yang lebih terbuka, terencana, dimana idealnya dijadikan sebagai dasar untuk membangun tolak ukur sebuah relasi. Dalam tulisan ini penulis ingin mengatakan bahwa, CSR sejatinya bukanlah sebuah operasi perusahaan yang membuat perusahaan serta masyarakat menjadi jauh dari semangat manusia yang penuh dengan keharmonisan. Atau mengabaikan prinsip-prinsip sosial kemasyaraktan yang menujukan praktik-praktik individual yang mengarah pada terpenuhinya kepentingan pragmatis. Tapi CSR sejatinya digunakan sebagai bentuk atau media membangun relasi dengan masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat untuk kemaslahatan bersama. Bersama disini tidak dibatasi pada Perusahaan ke masyarakat sekitar dan mungkin saja bisa memberikan dampak lebih luas pada masyarakat pengguna. Sehingga dukungan yang diharapkan lahir dari sebuah relasi serta ketulusan yang menjadi landasan dari relasi institusi untuk individu. (Google+)
Posted by: Konsultan Pemberdayaan Konsultan Manajemen Updated at : 09.39