Pemberdayaan perempuan secara sederhana diartikan sebagai upaya-upaya menguatkan kapasitas perempuan untuk kemandirian dan peningkatan kualitas hidup perempuan. Tulisan kali ini ingin difokuskan pada gagasan menggunakan program CSR untuk penguatan program pemberdayaan perempuan di masyarakat. Saya menggunakan kerangka Soetomo dalam bukunya “Pembangunan Masyarakat: Merangkai Sebuah Kerangka” untuk menjelaskan bagaimana pemberdayaan perempuan dengan menggunakan CSR sangat mungkin dilakukan. Pertama, Pemberdayaan perempuan sebagai proses perubahan; artinya pemberdayaan harusnya bisa menjadi bagian dari proses transformasi sosial. Perubahan yang dimaksudkan tentu saja menuju kondisi yang dianggap ideal dimana dalam perjalanannya menemukan faktor-faktor yang mempercepat dan memperlambat proses. Faktor-faktor ini akan menciptakan dinamika yang kompleks di dalam masyarakat, dimana perempuan harus menjadi bagian dari proses. Jika kita sering melihat di banyak kesempatan perempuan tidak terlalu terlibat dalam aktifitas public,maka pemberdayaan perempuan harus mendorong pada upaya agar perempuan menjadi actor yang aktif di masyaraakt, sehingga di setiap proses pengambilan keputusan, perempuan menjadi bagian penting. Untuk itu, ini tidak bisa dilakukan dengan cara yang natural. Harus ada desain khusus dimana perempuan disituasikan untuk dapat melalui proses peningkatan kapasitas, pengelolaan ketrampilan, dan penempaan kualitas kepemimpinan perempuannya. Kedua, Pemberdayaan perempuan sebagai proses pemanfaatan sumber daya; untuk mencapai kondisi yang diidealkan, diperlukan sumber daya yang cukup. Di setiap masyarakat tersimpan potensi sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Sumber daya ini baru bisa dimanfaatkan keberadaanya setelah dilakukan upaya untuk mengubahnya menjadi sumber daya aktual untuk digunakan sebaik-baiknya kesejahteraan masyarakat baik secara material maupun immaterial. Perempuan, merupakan sumber daya yang sangat penting dalam masyarakat, yang sering terpendam bahkan terabaikan potensinya. Menjadikan perempuan sebagai sumber daya alternatif di komunitas, akan membuka peluang besar akan perubahan. Ini akan memancing untuk mengekspose sumber daya-sumber daya lain yang terpendam. Ketiga, pemberdayaan perempuan sebagai pengembangan kapasitas; Kesejahteraan masyarakat merupakan hasil dari pemanfaatan kapasitas di masyarakat baik itu berupa sumber daya manusia maupun potensi lainnya, termasuk memanfaatkan kapasitas perempuan dalam menunjang proses keberdayaan di masyarakat. Sebuah proses pemberdayaan haruslah mengarah pada peningkatan kapasitas di perempuan dan masyarakat secara alamiah maupun by design. Semakin meningkat kapasitas perempuan dan laki-laki semakin tinggi tantangan yang dihadapi. Adanya kapasitas masyarakat yang telah terkonsolidasi, akan membantu masyarakat untuk bisa menghadapi tantangan yang kompleks dengan lebih baik dari sebelumnya. Satu contoh sederhana, di komunitas Pondok Bambu, komunitas dampingan AMAN Indonesia, para ibu terorganisir dalam sebuah media yang bernama Sekolah Perempuan. Mereka aktif menjawab persoalan di masyarakat, salah satunya adalah masalah sampah yang tidak terkelolah. Begitu mereka punya rencana, maka kebutuhan pengembangan ketrampilan mengelolah sampah dibutuhkan. Lalu berkembang belajar tentang bagaimana mengkapitalisasi sampah menjadi uang dengan belajar bank sampah ke Kelurahan Mekarsari. Karena persoalan pengelolaan sampah bukanlah bisnis para ibu, maka program dikembangkan agar multi stakeholder terlibat didalamnya. Dalam perjalanan proses ini, keterlibatan pihak kelurahan membuat proses menjadi lebih mudah. Keempat, pemberdayaan perempuan sebagai proses yang melibatkan multi pihak; masyarakat mengandung berbagai dimensi, dimana setiap dimensi memiliki interaksi, interrelasi dan bahkan interdependensi antara satu dimensi dengan yang lain. Pemberdayaan perempuan akan mengarahkan pada hubungan yang sinergis antara satu dimensi dengan yang lainnya, sehingga kapasitas bisa dimaksimalkan untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian. Persoalan yang melingkupi perempuan memang tidak bisa dikotak-kotakkan. Seluruh aspek kehidupan perempuan saling beririsan dan dinamis. Olehkarenanya pemberdayaan perempuan, tentu saja sebuah proses menjawab semua kebutuhan dan kepentingan perempuan dari persoalan ketubuhan perempuan, kesehatan reproduksi dan seksual, pendidikan, kesehatan, keterlibatan politik, ekonomi dan semuanya. Dalam menyelesaikan masalah ini, tentu saja harus melibatkan semua pihak, karena perempuan adalah bagian dari masyarakat secara utuh. CSR secara ideal haruslah bisa menjawab ke empat model pemberdayaan perempuan di atas dengan mendorong aktifitas yang didukung oleh CSR lebih menyentuh pada perubahan jangka panjang yaitu penguatan kapasitas perempuan dan peningkatan perempuan dalam pengambilan keputusan. Perempuan terlibat dalam semua proses pembangunan tidak bisa ditawar lagi. Kebijakan CSR harus mendukung ke arah pemenuhan minimal 30% quota perempuan dalam setiap fase kegiatan pemberdayaan. Tentu saja Ini bukan saja mengacu pada keterwakilan fisik perempuan, tetapi juga kualitas berpikir perempuan yang bisa menyuguhkan analisis sosial yang komprehensif. Sudah saatnya CSR mengadopsi kebijakan mainstreaming gender di dalam perumusan program dan mengarah pada transformasi sosial. Bukan hanya itu, secara serius pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi CSR haruslah memperhatikan indikator gender mainstreaming, sehingga agenda pemberdayaan perempuan bisa dilakukan secara khusus atau secara integrative menjadi bagian program secara umum. Rb (Google+). ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar