Memahami strategi pembangunan yang ditawarkan oleh salah seorang calon presiden dengan menggiring isu bantuan modal sebagai basis utama menyadarkan penulis pada fakta bahwa lebih dari 32 tahun ke-belakang, Indonesia merupakan negara penerima bantuan asing yang cukup signifikan. Indonesia menerima begitu banyak pinjaman dan hibah yang diglontorkan melalui sistem pemerintah maupun melalui mekanisme masyarakat sipil. Penulis tidak ingin membahas secara detail berapa jumlah bantuan yang masuk dan diterima serta didistribusikan serta sampai pada masyarakat. Tapi penulis ingin menelaah, bagaimana pendekatan bantuan modal serta pembangunan berbasis modal berdampak pada melemahkan inovasi serta kreatifitas anak bangsa, yang sejatinya merupakan modal utama dari setiap usaha ekonomi maupun sosial. Dari pengalaman penulis mendampingi kelompok ekonomi terpinggirkan dibeberapa daerah, memang cara pandang individu terhadap ketersedian modal berupa uang selalu menjadi perhatian utama. Yaitu, hampir semua orang yang penulis temui, percaya bahwa sebuah upaya ekonomi produktif tidak bisa dimulai tanpa modal keuangan. Sehingga sebelum sebuah upaya ekonomi dimulai, modal yang secara spesifik mesti berupa uang ini tidak ada, maka sebuah usaha tidak akan pernah bisa bergerak dan kehilangan motivasinya. Nah, hal ini sesungguhnya mendorong mentalitas kita yang berada dalam sistem kaya modal, bergerak menuju posisi mentalitas korban, bukan posisi Survivor. Bagaimana itu posisi mentalitas korban, artinya, bahwa individu yang menjadi bagian dari sistem berpikir bahwa seharusnya dia yang menjadi pusat perhatian dan mendapat dukungan paling utama, tanpa dia harus berusaha untuk mendapatkan sesuatu. Lebih jauh lagi, mentalitas korban mengkondisikan seseorang berpikir bahwa sistem yang ada seharusnya berprilaku seperti Ibu mereka, memberikan Asi, menyuapi dan lalu melayani kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Model pendidikan inilah yang menjadi pusat kritik dari tulisan ini, dengan gaya politik mengiming-imingi sekian puluh juta untuk setiap kepala keluarga, atau desa, sekian puluh juta untuk modal usaha justru sejatinya mengkondisikan individu sebagai seorang pesakitan yang lemah dan tidak berdaya. Kenapa demikian, Kritik pertama, karena sebagai individu, rasa malas untuk bergerak maju merupakan tantangan setiap orang, dimana menerima sesuatu tanpa perjuangan seharusnya dilihat sebagai upaya melemahkan identitas diri dan semangat juang, bukan sebagai model membangun identitas nasional yang memerdekakan. Kritik kedua, Strategi memberikan bantuan ini, sangat erat kaitanya dengan mentalitas pos kolonial, dimana putra bangsa dianggap sebagai jamur pengganggu yang tidak mengerti dengan kondisi pasar dan perkembangan global, sehingga dengan memberikan dukungan keuangan dan kenyamanan pada mereka secara definitif akan menumpulkan kekritisan mereka melihat ketidakseimbangan dan gap sosial yang ada. Nah penulis ingin mengatakan, bahwa pendekatan bantuan modal pada strategi pemenangan tidak berpihak pada semangat nasional yang menjunjung tinggi kedaulatan, tapi lebih pada upaya menyelamatkan kepentingan untuk mendapatkan sesuatu dalam jangka pendek. (Google+)
Baca Juga: Institutionalisasi Pemuda
Baca Juga: Institutionalisasi Pemuda
Sumber Foto: http://pesugihan-ghoib.blogspot.com
Setuju, rakyat butuh dikenali kapasitasnya dan didukung dg policy yg bepihak
BalasHapus