Rabu, 18 September 2013

Sumberdaya manusia CSR, Kerelaan atau Kewajiban

sumberdaya manusia CSR kerelaan atau kewajiban
Sebuah pengalaman dari pelatihan 13 & 16 September 2013 di UIN Syarif hidayatullah mebuat penulis tersenyum lega. Kenapa tidak, upaya membangun cara pandang tentang kemandirian serta manfa'at prinsip-prinsip pemberdayaan bagi calon fasilitator, sedikit banyak tumbuh lalu akan berkembang dalam sebuah kerangka kegiatan yang bertujuan mengembalikan semangat kemerdekaan dan harga diri Individu. Secara garis besar, prinsip-prinsip mengidentifikasi masalah lalu membangun tujuan dan ditambah dengan SWOT analisis, merupakan bekal awal bagi pekerja sosial entrepreneur kedepan. Beberapa pertanyaan yang muncul bagi pelaku pemberdayaan baik yang menggunakan CSR sebagai jalan, maupun intervensi issu sebagai alternatif menunjukan bahwa, kesadaran akan kapasitas dan bekerjasama dengan individu lain sebagai mitra penguat mencapai tujuan adalah penting. Begitu juga dengan judul tulisan pendek kita hari ini, sumberdaya CSR yang merupakan kewajiban bagi pemberi kerja untuk memberikan alokasi serta dukungan kepada bidang ini tidak bisa dinafikan. Akan tertapi kerelaan pekerja menerima manfa'at dari rencana pemberi kerja memberikan kesempatan dalam meningkatkan kapasitas, setidaknya mesti menjadi alasan membuka diri untuk memulai untuk melakukan yang terbaik. Kadang sebagai manusia kita mungkin tidak sadar, bahwa penerimaan pada sebuah kesempatan akan sangat menentukan bagaimana mental kita memberikan daya lebih atau kurang dalam mengikuti kesempatan tersebut. Penerimaan juga akan sangat berpengaruh pada komitment serta rencana tindak lanjut paska pelatihan atau upgrading. Apa yang dimaksud dengan rencana tindak lanjut, yaitu bentuk langkah sistematis yang berorientasi menjawab persoalan serta mewujudkan keilmuan serta pengetahuan yang diterima dalam pelatihan untuk menguatkan perusahaan, lembaga atau institusi yang diwakilkan. Konsep kerelaan dan kewajiaban, sejatiya bukanlah konsep yang berdiri sendiri tanpa latar belakang, sehingga setiap latar mesti memiliki konteks serta cerita sendiri. Inilah yang mempengaruhi kita dalam membuka diri untuk menerima atau memaksakan sesuatu pada orang lain, dan diri sendiri. Cara pandang ini pulalah yang secara kuat mempengaruhi kebijakan kelembagaan baik berbentuk perusahaan yang mencari keuntungan atau lembaga sosial yang memberikan layanan gratis. Sebagai contoh, kita sering melihat fakta bahwa orang tua mengirim anak mereka untuk pergi kesekolah, disebabkan ketidakmampuan mereka untuk mendidik anak sehingga harus rela memberikan dukungan serta fasilitas belajar, tapi pada kenyataannya prilaku ini lebih pada prilaku mewajibkan diri dalam memenuhi tanggungjawab diri sebagai orang tua terhadap anaknya, agar anak memiliki masa depan yang lebih cerah. Pertanyaannya apakah pada lembaga tempat kita bekerja hal ini sudah menjadi sebuah kewajiban yang dengan sukarela akan diterima oleh karyawan? (Googel+)
Baca Juga: Kompleksitas Pemberdayaan
Sumber foto: Dokumentasi KP       
Posted by: Konsultan Pemberdayaan Konsultan Manajemen Updated at : 07.52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar