Isue kenaikan BBM telah berdengung lama ditelinga kita, dimana pemerintah Indonesia merasa banyak sekali kebobolan dengan mekanisme subsidi yang tidak tepat sasaran. Argumentasi yang sering dibicarakan adalah, konsumsi BBM banyak dinikmati oleh kelompok ekonomi menengah atau disebut juga orang kaya. Hal ini, sejatinya menimbulkan pertanyaan baru, dimana pernyataan ini menjadi sangat manipulatif serta terkesan mengarahkan kondisi mendiskriditkan kelompok kelas masyarakat yang distrukturisasi oleh sistem kebijakan kelas di Indonesia. Kesan yang muncul dari argumentasi ini selain menyudutkan kelas tertentu, juga seakan perlakuan hukum tidak sama secara konstitusi untuk siapa pun yang menjadi warga negara di negeri ini. Pada satu sisi, kesan perjuangan kelas dimunculkan dalam upaya mencapai tujuan pencabutan subsidi BBM, tapi pada sisi lain bahwa proporsi masyarakat kaya di Indonesia yang mengkonsumsi subsidi BBM tidak pernah secara detail dikalkulasi dalam bentuk yang terukur juga masuk akal. Penulis mencoba melihat akal-akalan seperti apa yang terjadi dibelakang kebijakan kompensasi ini. Dalam upaya pengentasan kemiskinan, idealnya bukan orang kaya yang mesti dijadikan sasaran tembak dari kebijakan pemerintah untuk melakukan proses redistribusi kesejahteraan. Tapi sebalikanya, pemerintah sebagai institusi yang merupakan bentuk usaha bersama 250 juta penduduk Indonesia, mesti menciptakan kendali terhadap ruang dan infrastruktur publik yang dikuasai oleh pemilik modal. Pada kondisi yang mengenaskan, Para tokoh politik, negarawan seakan menggambarkan bagaimana mereka dipilih serta dimandati oleh rakyat, tapi malah gagal mengurus negara dan terkesan negara selalu merugi. Sehingga fasilitas-fasilitas publik dimana taraf kesejahteraan sesungguhya terlihat, tidak menjadi perhatian yang utama serta prioritas. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dengan membangun mekanisme kompensasi justru akan membuat kelompok rentan yang juga miskin menjadi lebih berdaya?. Dari aspek sosial-politik penulis melihat bahwa upaya mengganti mekanisme subsidi menjadi kompensasi dalam hal ini, sangat rentan dengan muatan politik, dimana partai atau individu berkuasa mencobsa melakukan intervensi pada level individual, dan telah memperhitungkan secara matang dampak lanjutan dari kondisi ini. Diamana peran mereka sebagai pelayan publik bisa sewaktu-waktu berubah menjadi perwakilan politik lalu menunggangi kebijakan ini untuk menaikan elaktabilitas politis partai serta kepercayaan kelompok miskin terhadap mereka. Lalu dampak lanjutan yang muncul adalah, dalam kacamata penulis "jika kebijakan kompensasi ini nantinya berlaku maka setidaknya partai politik yang mebackingi kebijakan kompensasi ini secara dejure bisa membangun citra positif terhadap 28,9% pemilih yang berada pada zona miskin dan dalam perhitungan pemenangan pemilu 2014, yang dibutuhkan hanya 22% dukungan tambahan untuk mendulang suara 50%". Tapi semangat yang tumbuh dari kelompok masayarakat miskin adalah semangat korban dimana kemiskinan menjadi modal untuk mendapatkan belas kasihan. Dan ini sejatinya bertentangan dengan UUD 1945, yang memerdekakan. Sehingga yang dibutuhkan adalah mekanisme yang lebih berpihak pada kepentingan publik. (Google+)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar