Adalah sebuah fenomena yang tidak lagi baru bagi penulis, pada sebuah obrolam kecil ketika seorang sahabat berkunjung ke unutk bersilaturahmi. Dia menyampaikan bagaimana strategi sebuah lembaga yang pada awal berdirinya merupakan lembaga usaha berbasis produksi rokok mendirikan sebuah institusi sosial berstatus yayasan, dengan tujuan menyemarakkan area sosial-entrepreneur yang belum banyak digarap. Melalui program-progam pendidikan dan pelatihan yang dijual untuk staf pada perusahaan lain mendapat sambutan baik sebagai sebuah sektor prioritas yang memiliki nilai jual tersendiri. Dengan berpayung nama besar seperti Sampoerna, atau Pertamina dan ditambah dengan embel-embel foundation, telah mendudukan institusi yang pada awalnya merupakan lembaga profit seakan berubah wujud menjadi lembaga non-profit yang berorientasi pada upaya pemberdayaan masyarakat serta upaya kerelawan sosial. Secara kepentingan dan tata aturan tidak ada yang salah pada kondisi ini, tapi sebaliknya, upaya dari lembaga profit yang bertujuan untuk membangun citra sosial dalam pandangan masyarakat muncul sebagai sebagai sebuah model dari transformasi kepentingan yang memutus mata rantai ketergantungan lembaga profit unutk membuktikan diri pada sektor tanggung jawab sosial. Dalam bentuk yang konvensional, lembaga profit ini secara prosedural dan intensive menyandarkan kepentingan tanggung jawab sosial mereka pada Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai perpanjangan tangan dari kepentingan pemberdayaan sosial mereka, akan tetapi, entah apa yang terjadi pada periodesasi ini, sehingga banyak lembaga profit akhirnya memutuskan untuk mendirikan lembaga berbentuk yayasan sebagai kendaraan CSR atau Tanggung Jawab sosial mereka. Ada berberapa kemungkinan, seperti LSM atau CSO tidak lagi mewakili kepentingan perusahaan sehingga sering menjadi masalah dari pada sumberdaya atau jaringan yang memberikan kontribusi pada kepentingan perusahaan. Atau sebaliknya, LSM atau CSO mewakili kepentingan perusahaan dan memberikan kontribusi sesuai tujuan Perusahaan tapi bertindak tidak seperti LSM atau CSO layaknya. Dalam pandangan ideal dari kontruksi tata pemerintahan yang baik, penulis melihat ada ketidaksamaan persepsi antara kepentingan bisnis dan citra sosial yang dibangun oleh perusahaan dan lembaga non-profit yang dibentuk, sehingga membuka ruang konflik vertikal maupun horizontal secara kelembagaan, atau pada sisi lain akan menurunkan kwalitas penilaian objektif dalam upaya pemandirian yang dimaksudkan . (Google+)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar