Tulisan ini bukan ditujukan untuk membangun cerita melankolis tentang bagaimana nasib profesi dokter hewan, atau banyak orang menggunakan istilah Veteriner untuk profesi ini. Jelang pertengahan tahun 2012, saya diundang untuk terlibat dengan sebuah program kerjasama antar pemerintah yang membuat saya belajar banyak mengenai kebijakan kesehatan hewan di Indonesia yang berdampak pada profesi dokter hewan. Beberapa fakta yang cukup mengejutkan adalah, kebijakan terhadap kesehatan hewan telah lama mengebiri profesi dokter hewan di Indonesia, hal ini terjadi sejak terjadinya marginalisasi atau diskriminasi terhadap profesi ini. Dengan memandang kesehatan hewan tidak ada hubungannya dengan kesehatan manusia, mengakibatkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap sistem kesehatan hewan di Indonesia dimana tata kelolanya menjadi sangat buruk serta proses pengelolaanya dilakukan oleh orang-orang yang frustasi terhadap keadaan negara bangsa yang tidak memerdekakan. Lalu pertanyaan pengiring, mengarahkan kita pada, apakah hal ini mempengaruhi keamanan dan keselamatan produk hewan di Indonesia? jawabannya, tentu saja. Dengan lemahnya kebijakan yang memagar masuknya produk Impor hewani masuk ke Indonesia, dimana status keamanan atau keselamatan produk itu sendiri dipertanyakan, mengakibatkan kondisi, situasi ini makin parah. Kondisi ini menunjukan kurangnya jaminan negara terhadap kesehatan produk yang berasal dari hewan untuk dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Pada sisi lain masuknya produk impor secara langsung telah mematikan konsumsi terhadap produk hewan lokal serta ruang berdikari bagi para peternak. Nah, penulis melihat dan melakukan analisis pada penyebab situasi ini, bahwa secara mendasar klasifikasi keilmuan telah membangun kecenderungan kelas dalam profesi pekerjaan yang secara langsung mengorbankan kemerdekaan warga negara atau aparatur negara untuk mendapatkan hak hidup layak serta keamanan dari fungsi negara sebagai payung bagi warga negaranya. Hal kecil mungkin serta tidak menjadi perhatian banyak orang, akan tetapi marginalisasi keilmuan dan profesi sesungguhnya memandulkan fungsi negara sebagai lembaga yang memerdekakan. Kegagalan dalam pengelolaan sumberdaya kepentingan berakibat fatal pada kedaulatan negara yang seharusnya dapat dirasakan oleh setiap penduduk dan anggota masyarakat yang hidup dinegara ini. Sejujurnya, sa'at ini merupakan momentum untuk membangun identitas kebangsaan yang membutuhkan keahlian serta kepeduliaan kita sebagai Orang Indonesia untuk mengembalikan harga diri bangsa melalui kemandirian dan keberdayaan membangun identitas, melalui kebijakan yang berpihak pada kepentingan lokalitas. Kepentingan lokalitas artinya bangga dengan potensi lokal dengan memberikan kesempatan pada potensi tersebut untuk berkembang lalu belajar dari kekurangan serta situasi mereka. Bersamaan dengan itu mentalitas untuk terus belajar dan menyempurnakan diri, sejatinya menjadi hal yang diprioritaskan oleh setiap manusia Indonesia.(Google+)
Baca Juga: Pemberdayaan Perempuan dalam CSR
Sumber Foto: http://surabaya.olx.co.id
Baca Juga: Pemberdayaan Perempuan dalam CSR
Sumber Foto: http://surabaya.olx.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar