Pada tahun 2007, ketika penulis masih sangat baru mengenal konsep kesetaraan gender dan sumberdaya alam. Penulis yang juga pada waktu itu meneliti bagaimana keterkaitan sumberdaya Alam dengan keyakinan Islam. Sebuah fenomena yang kelihatan di masyarakat pesisir yang terisolasi dari cepatnya perkembangan kota Padang, yaitu Sungai Pisang. Perempuan yang seakan tidak mendapat tempat dalam kerangka dan perencanaan pembangunan secara adil dan setara. Sebagai sebuah contoh adalah trend pembangunan tolilet umum, dimana penetapan lokasi serta design yang begitu maskulin dan mengabaikan kebutuhan perempuan. Toilet yang terbuka, dan terletak dipertlintasan jalan umum serta berdampingan dengan sumber air bersih yang sekaligus menjadi pusat kegiatan ibu-ibu rumah tangga setiap paginya, dimana mereka mesti mandi, mencuci dan bersanitasi. Sehingga setiap paginya, bagi para petani, nelayan atau pekerja yang melintasi lokasi tersebut, maka para perempuan-perempuan ini menjadi tontonan yang menurut penulis tidak biasa. Apa yang ingin penulis katakan adalah, ketidak nyamanan ini sesungguhnya tidak saja menjadi beban dari para perempuan, akan tetapi juga menjadi beban laki-laki, karena terlalu sering mengabaikan kepentingan perempuan maka berujung pada ketidakadilan serta tidak maksimalnya peran perempuan dalam pemberdayaan masyarakat. Dan terkesan sekali upaya-upaya pemberdayaan yang terpusat pada para laki-laki, dan mengabaikan kesetaraan serta modal potensial dari aktor pembangunan yang memiliki sensitifitas serta perspektif yang berpihak pada kelompok anak-anak dan minoritas.Sehingga dapat dikatakan, peran perempuan dalam upaya pemberdayaan akan sangat besar jika kita memahami bagaimana kesetaraan menjadi landasan yang akan membantu kita memaksimalkan potensi diri dan masyarakat unutk mandiri.(Google+)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar