Pada 5 sampai dengan 6 desember 2011, penulis mendapat kesempatan mengikuti sebuah diskusi regional yang diselenggarakan oleh Wahid Institute. Sebelumnya, terimakasih telah memperbolehkan penulis hadir, sehingga penulis mendapatkan inspirasi bagaimana dunia memandang Indonesia dari garis batas budaya dan geografis yang tidak hanya terefleksi melalui sinetron dan berita kekerasan yang ada dimana-mana. Dari perspektif ke Indonesiaan, apa yang dibicarakan dalam pertemuan ini adalah tentang bagaimana kondisi pemahaman umat terhadap solidarititas keagamaan dan nilai fundamental dalam posisi sebagai alat untuk membenarkan prilaku kekerasan. Pada sisi lain, teman-teman yang berasal dari Singapure dan Malaysia, menggambarkan juga bagiamana pemerintah mengendalikan pemahaman keagamaan yang secara konstruktif membatasi pandangan sehingga tebatasnya upaya gerakan sosial yang mengarah pada perjuangan hak-hak sipil.Tapi dalam pertemuan ini penulis menyadari bahwa, banyak orang yang ingin memperjuangkan nilai-nilai keagamaan seperti kejujuran, kemerdekaan, harga diri, toleransi, keragamaan dan kemanusian sementara dalam prakteknya malah jauh dari nilai-nilai tersebut. Semakin penulis, mengikuti pertemuan ini terasa semakin menguat untuk mengatakan bahwa nilai yang dianut sebagai sebuah prinsip yang memiliki daya ikat universal kadang jika tidak didorong oleh prinsip-prinsip partisipasi yang kuat maka akan mengarah pada prilaku represif yang sangat egosentrik. Sebagaimana pangakuan dari para undangan asing yang hadir bahwa banyak dari orang-orang dinegeri seperti Malaysia dan Singapore tidak menyadari bahwa investasi modal yang dikirimkan ke Indonesia oleh taipan-taipan mereka untuk lahan Sawit, telah menenggelamkan satu kampung dan membunuh lebih kurang 6 orang penduduk lokal di pesisir selatan. Dampak lain yang juga, perlu diperhatikan adalah kabupaten Pasaman Barat didaerah pesisir terutama mengalami dampak abrasi dan banjir yang terus menerus. Pertanyaannya, jika model investasi yang tidak terkendali seperti ini terus dilanjutkan, pada tingkat akar rumput masyarakat komunal seperti di Sumatera Barat, terus dipaksa untuk lebih peduli pada diri dan keselamatan pribadi mereka yang akan menggerus komunalisme sebagai landasan masyarakat multikulturalisme, lalu mau kemana kita? (Google+)
Baca Juga: Rokok dan Anak dimana Negara
Sumber Foto: Konsultan Pemberdayaan
Baca Juga: Rokok dan Anak dimana Negara
Sumber Foto: Konsultan Pemberdayaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar