Pada tahun 2008, penulis terlibat dengan sebuah lembaga Perdamaian. Lembaga yang memang berdiri sejak tahun 1990 diprakarsai oleh seorang aktivis asal bangladesh. Pada tahun 2007, lembaga tersebut memulai debut dan karyanya sebagai sebuah institusi resmi dan bukan lagi berbentuk jaringan, yang memperjuangkan perempuan dalam misi-misi perdamaiannya. Pengalaman yang sangat mengesankan bagi penulis selama terlibat dalam misi perdamaiannya adalah, pentinggnya tranparansi dalam membangun fondasi dari sebuah pekerjaan pemberdayaan yang mengharapkan partisipasi dari semua pihak baik pada level komunitas atau kelompok masyarakat sipil lainnya. Indikator transparansi akan menjadi tolak ukur bagi semua pihak yang terlibat untuk memastikan eksistensi mereka adalah sesuatu yang dihormati. Pada sisi lain transparansi juga menjadi faktor dasar dari upaya-upaya membangun saling pengertian dan kepercayaan karena landasan transparansi merupakan fakta dan kejadian sebenarnya. Pada tingkat awal, mungkin tidak terlalu banyak yang terbiasa dengan budaya tranparansi ini, terutama berkaitan dengan hal-hal publik yang selama ini dianggap sebagai hal-hal private. Salah satu contoh yang dapat dijadikan rujukan adalah bagaimana prosess perencanaan pengembangan program pemberdayaan dan perdamaian membuka ruang keterlibatan ibu-ibu rumah tangga yang banyak didomistifikasi perannya oleh sistem masyarakat kita. Bagi kalangan tertentu yang tidak biasa melihat ini, akan menumbuhkan pertanyaan apakah ibu-ibu rumah tangga ini ada gunanya untuk dilibatkan dalam perencanaan?. Sebaliknya, upaya melibatkan semua kelompok kunci menjadi penting dan merupakan refleksi dari nilai dan semangat transparansi.(Google+)
Baca Juga: Khitan Perempuan Perampasan Hak terhadap Generasi
Sumber Foto: Konsultan Pemberdayaan
Baca Juga: Khitan Perempuan Perampasan Hak terhadap Generasi
Sumber Foto: Konsultan Pemberdayaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar