Sabtu, 16 Mei 2015

Berdaya sebagai karakter organisasi bukan cita-cita

Berdaya sebagai karakter organisasi bukan cita-cita
Dalam diskusi pagi ini, refleksi yang muncul dari kelompok kecil anak muda yang mencoba melihat ulang arah dan tujuan organisasi dimana, penulis mendapat pencerahan tentang konsep berdaya. Konsep yang menjadi urat nadi merek dagang yang kami populerkan sejak 2011.  Adalah sebuah fakta, progam pemerintah dan kebanyakan individu kita melihat bahwa berdaya ditempatkan pada level yang tinggi yaitu sebagai cita-cita. Dampak meletakkan konsep berdaya sebagai cita-cita adalah proses dari tidak berdaya yang diharapkan sampai pada tahap tertentu maka terjadilah sebuah kondisi dimana individu tersebut menjadi mampu atau berdaya. Lalu pertanyaannya, bagaimana mungkin dari proses yang selalu mendapat dukungan dari pihak lain, dimana tercipta ketergantungan dari bantuan, bergeser menjadi fase atau tahap, dimana kemampuan atau keberdayaan menjadi karakter, Jika secara prilaku, dan wujud nilai, prinsip dan karakter keberdayaan tidak pernah dijadikan model mental yang melandaskan setiap perbuatan dan prilaku. Selain itu, sebuah mental model diawali dengan cara berpikir yang memandu menuju kerangka keberdayaan dan memberdayakan, sehingga sedari awal, mesti dipahami bahwa bergabung dengan organisasi yang mencirikan budaya organisasi yang berdaya merupakan sebuah keharusan. Dialektika ini muncul disebabkan oleh berbagai faktor yang menimbulkan pertanyaan ditingkat individu dan kelembagaan, upaya pemberdayaan dari satu tahap menuju keberdayaan jika didekati dengan pola pendanaan donor, sumbangan dan bantuan akan menyebabkan ketergantungan yang mengakar dalam sistim nilai individu dan kelembagaan. Semakin seseorang atau organisasi terlambat menyadari hal ini maka semakin mungkin terjebak dalam perangkap ketergantungan yang akan sulit memutusnya. Hal pertama yang memudahkan pengamat organisasi melihat bagaimana ketergantungan teresebut muncul dan tidak bisa lepas adalah kebiasaan merencanakan program yang berorientasi proyek, yaitu dana sudah ditetapkan, waktu penyelenggaraan proyek dibatasi dan jumlah capaian ditentukan sedari awal sebagai hasil yang diharapkan. Lebih dalam lagi, fase tersebut memberikan efek intervensi jangka pendek dalam menciptakan prilaku penerimaa manfa'at yang hanya sementara. Sehingga perlu dipikirkan solusi yang tepat dan berorientasi memaksimalkan potensi sosial dan mengarah pada kemerdekaan dari ketergantungan yang dikondisikan.
Baca Juga: Manajemen Kepemimpinan bukan Ruang Kosong
Sumber Foto:  http://shiftindonesia.com/ 
Posted by: Konsultan Pemberdayaan Konsultan Manajemen Updated at : 08.15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar