Jumat, 28 November 2014

Undang-undang Desa No. 6, 2014:Peluang atau Ancaman

Undang-undang Desa No. 6, 2014 :Peluang atau Ancaman
Dengan lahirnya undang-undang desa tidak sedikit tanggapan anggota masyarakat terhadap undang-undangnya sendiri atau wacana perundangan tersebut. Tanggapan bisa datang dari hal yang umum maupun hal yang detail. Kondisi ini bisa dipahami, karena sesungguhnya keberadaan perundahngan di Indonesia tidak selalu melalui tahapan yang menjadi perhatian masyarakat atau mendapat ruang yang layak dalam sosialisasinya untuk menjadi bahasan yang menjadi bagian dari pembangunan ditingkat akar rumput. Penulis berpendapat seperti ini bukan tanpa sebab, dari pengalaman penulis mendampingi kelompok petani di gunung talang pada tahun 2011 menunjukan, bahwa sesungguhnya masyarakat sering bingung tentang hak dan kewajiban mereka. Dimana hal ini berpotensi menjadi ajang menciptakan kerumitan oleh aparat yang tidak bertanggungjawab meng-eksploitasi ataupun meninggikan posisi mereka, sehingga tanggungjawab aparat pemerintah sebagai pelayan publik bisa diputarbalikan menjadi penguasa diruang publik. Nah, pada level ini jika kita membaca undang-undang desa maka pertanyaan selanjutnya dari kacamata masyarakat yang masih bingung dengan hak dan kewajiban mereka, pertanyaan yang timbul adalah, kerumitan apalagi yang diciptakan untuk mengkondisikan kekurangan mereka dalam memahami hak kewarganegaraan mereka. Sementara dari sisi lain kelompok masyarakat sipil mulai gelisah karena perundangan ini memiliki dua mata pisau yang pada satu sisi bisa melukai si-pengguna jika tidak memahami betul kegunaan dan kelemahannya, tapi pada sisi lain bisa sangat berpotensi menjadi ruang berkembang dan mengembangkan masyarakat jika mengerti dan mampu membaca, dan memanfatkannya untuk kesejahteraan masyarakat. Sedikit meringkas tulisan ini, kebetulan penulis menghadiri sebuah gerakan kelompok masyarakat sipil dimana gerakan itu disebut dengan Indonesia beragam. Acara yang berlangsung selama dua hari ini, mencoba mengupas dan menelisik lebih dalam persoalan keberagaman dan relasinya dengan kondisi kekinian Indonesia. Acara yang bertajuk Feminist Conversation: Redefinisi Perlindungan Sosial bagi Perempuan di Era Poros Maritim ini mencoba membongkar semua kondisi terkait perlindungan sosial dan melihat kelemahan pemahaman umum yang sering dipakai oleh pihak-pihak berkepentingan. Dalam fokus diskusi pada hari kedua terlihat bahwa undang-undang desa masih sangat membingungkan bagi pelaku perubahan dan pekerja pemberdaya jika dihadapkan pada fakta bahwa belum utuhnya pemahaman terhadap undang-undang ini diakar rumput dan berpotensi berdampak terbalik dari harapan dan tujuan undang-undang itu sendiri. Selain pemerintah sebagai regulator diberikan ruang lebih luas untuk cuci tangan jika dihadapkan pada dampak buruk mis-kelola, dan persoalan kegagalan redistribusi. 
Sumber Foto: Indonesia beragam
Posted by: Konsultan Pemberdayaan Konsultan Manajemen Updated at : 09.18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar