Banyak manajer melupakan peran SDM yang berkualitas, hanya karena lembaga memprioritaskan profit yang besar sehingga menomor-duakan sumberdaya manusia yang mumpuni. Argumentasi yang sering kita dengar adalah tingginya biaya upgrading SDM menyebabkan hal-hal terkait peningkatan kualitas layanan berbasis manusia sejatinya tidak menjadi hal utama, karena dengan pertimbangan kecukupan kemampuan pembiayaan, serta kekhawatiran para pengambil keputusan pada organisasi terhadap SDM yang memiliki kemampuan lebih, dikhawatirkan menjadi pengganggu posisi atasan baik secara struktur maupun secara politis. Lalu pertanyaannya, jika SDM tersebut terkait posisi yang bukan merupakan prioritas lembaga, bagaimana mengatasinya. Pagi ini, penulis ingin memberikan catatan permain politik dalam lembaga yang mengarah pada penjelasan Sumberdaya Manusia CSR adalah sebuah kebutuhan atau alternatif. Sebagaimana kita ketahui, bahwa CSR yang dikaji dalam peraturan pemerintah no. 47 tahun 2012 mewajibkan pelaku usaha untuk menjadikan CSR sebagai salah satu prioritas perusahaan dengan mempertimbangkan jenis usaha yang dilakukan. Berbagai lembaga berbasis konsultansi dan berbasis mayarakat sipil tumbuh dan berkembang dalam ranah yang sebenarnya juga tidak baru ini. Beberapa organisasi tumbuh dan berkembang dengan afiliasi yang masih kuat pada usaha intinya, hal ini bisa dilihat dari tumbuhnya lembaga-lembaga berbasis yayasan atau perkumpulan yang merupakan bentuk lain perusahaan untuk mengatasi krisis kepercayaan pada pihak ketiga yang dianggap tidak mampu mewakili perusahaan pada kepentingan tanggungjawab sosialnya. Lalu apakah ini etis atau tidak, setiap orang berhak memberikan penilaiaan. Selanjutnya, ada beberapa lembaga yang berfokus pada distribusi dan pengelolaan CSR pada pihak ketiga yang ditunjuk dan dipercayai sebagai perwakilan kepentingan tanggungjawab sosial ini, sehingga peran aktif sebagai pelaksana harian dan implementasi menunjukan peran signifikan yang kadang membuat penerima manfa'at kebingungan atas posisi lembaga tersebut, apakah perwakilan perusahaan atau pelaksana program yang berdiri untuk kepentingan penerima manfa'at. Hal ini menjadi fenomea tersendiri, karena lembaga tersebut menjalankan fungsi kepentingan perusahaan dalam upaya mendapatkan sumberdaya atau memberikan pengaruh. Nah, catatan selanjutnya adalah, penulis berpendapat pada dua kasus diatas, salah arah atau ketidaktepatan informasi serta komunikasi telah memberikan dilema etis pada peran dan fungsi kelembagaan, baik dari kacamata kelembagaan atau akuntabilitas. Dimana sejatinya peran serta fungsi lembaga yang menjalankan fungsi CSR tersebut berdiri sendiri, dengan semangat 7 prinsip ISO 26000 yang bertujuan membangun kekuatan masyarakat sipil. Dan ini membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit bagi perusahaan untuk berinvestasi pada SDM CSR dan tidak menjadikannya alternatif. Sebagaimana disadari, dengan menjadikan CSR sebagai alternatif issu, adalah sebuah konsekuensi logis SDM pun adalah alternatif.(Google+)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar