Selasa, 09 Februari 2016

Label Halal, Model Bisnis Sertifkat Nan Menjanjikan

Label Halal Model Bisnis Sertifkat Nan Menjanjikan
Sebuah catatan pendek dari review seorang teman terhadap penggunaan label halal pada produk Jilbab, membuat penulis menyadari betapa besar potensi rupiah jika label ini digunakan sebagai justufikasi untuk mendapatkan pengaruh terhadap kompetisi pasar yang makin padat. Ya, pengaruh pada keputusan konsumen dalam memilih produk, dan menggunakan produk. Yang selama ini malu-malu untuk dikemukakan oleh para pelaku bisnis berlatar belakang Islam di Indonesia. Memang trend yang bermula dari konsep syar'i ini semakin menguat setelah sistem perbankan Islam sebagai bentuk baru dari sistem perekonomian yang menjanjikan keadilan dan anti terhadap Riba. Momentum sa'at ini adalh momentum paling menentukan apakah produk halal sebagai label saja atau sebagai prinsip nilai yang mewakili konsumen dalam memilih dan menggunakan produk. Halal sebagai sebuah label akan menjadi otoritas konsumen masa depan yang mengharapkan perlidungan dari produsen karena kejenuhan konsumen terhadap ketidakpastian otoritas negara dan masyarakat sipil dalam melindungi kepentingan konsumen hari ini. Sebuah gerakan yang mungkin akan menjadi gerakan sosial yang ditolak oleh para pengusaha moderat karena statusnya mengkapitalisasi modal sosial keagamaan sebagai sebuah potensi investasi yang menjanjikan. Gelombang produk halal sejatinya bisa menjadi dua sisi mata pisau dan dapat digunakan sebagai perangkat yang tidak sembarangan dampaknya. Baik dari sisi sosial maupun dari sisi eksistensi bisnis. Gelombang ini akan berdampak pada berbagai lini yang secara bertahap akan menjadi model yang berguna untuk mempertahankan lokalitas pun atau membrangus lokalitas. Sebagai rujukan bagi pengunjung blog konsultan pemberdayaan, penulis ingin menjabarkan temuan dari sisi digital, tentang trend pencarian kata kunci halal semakin hari semakin meningkat pada mesin pencari google. Berbanding lurus dengan pencarian kata kunci haram, dimana pencarian kedua kata kunci tersebut mengalami gap sampai 30% sejak tahun 2004 sampai sekarang. Sebuah situaasi konsumen yang berasal dari alam bawah sadar yang tidak mudah untuk diabaikan. Selanjutnya, peluang yang mudah-mudahan sejalan dengan klaim pemerintah tentang kondisi pereekonomian Indonesia dan kembalinya otoritas lokal sebagai perwakilan nusantara dalam mengurangi dampak penguasaan ekonomi oleh asing. Pertanyaan yang mesti dijawab oleh para pelaku usaha dan otoritas agama yang mengeluarkan sertifikat Halal, apakah para wirausahawan akan menjadi mesin ATM dengan menetapkan harga sertifikat yang sulit dijangkau atau ingin membangun perekenomian nusantara yang mandiri dengan menjadi otoritas yang berpihak pada re-distribusi sumber daya? Nah jika bermuara pada mesin ATM lalu apa yang membedakan bersertifikat Halal atau tidak, kalau berujung pada model bisnis yang tidak memandirikan. 
Sumber Foto:  Islam4infidels
Posted by: Konsultan Pemberdayaan Konsultan Manajemen Updated at : 14.03

Tidak ada komentar:

Posting Komentar